MK Wajib Putus Pendapat DPR soal Dugaan Pelanggaran Presiden dan Wapres

Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan kewajibannya untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketua MK, Suhartoyo menyatakan jika DPR mengajukan permohonan terkait dugaan pelanggaran konstitusional yang dilakukan oleh Presiden atau Wapres, maka MK secara konstitusional wajib memberikan putusan.

“Ini yang sering kita dengar dengan istilah impeachment atau pemakzulan,” ujar Suhartoyo,  Senin (16/6/2025).

Ia menjelaskan pemakzulan dapat diajukan jika kepala negara terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Selain itu, alasan lainnya adalah ketika Presiden dan/atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat jabatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Suhartoyo menegaskan  kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR tersebut berada di luar dari empat kewenangan utama MK yang telah diatur dalam konstitusi, yaitu:

  1. Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 (judicial review)
  2. Memutus sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara
  3. Memutus pembubaran partai politik
  4. Memutus perselisihan hasil pemilu

Terkait judicial review, Suhartoyo menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk pengujian: formil dan materiil. Pengujian formil menyangkut tata cara pembentukan UU yang dianggap cacat prosedur atau bertentangan dengan konstitusi, dan harus diajukan maksimal 45 hari setelah UU diundangkan. Jika dikabulkan, UU tersebut otomatis dinyatakan batal demi hukum.

Sedangkan pengujian materiil menyasar substansi atau isi dari UU. Tidak ada batas waktu dalam menguji materi UU, bahkan UU yang telah berlaku puluhan tahun tetap bisa diuji.

“Yang diuji bisa pasalnya, ayatnya, atau bagian tertentu dari UU tersebut,” jelasnya.

Suhartoyo menyebut judicial review ini sebagai core business Mahkamah Konstitusi.

Selain empat kewenangan pokok dan satu kewajiban konstitusional, MK juga memiliki kewenangan tambahan yang diberikan melalui undang-undang. Salah satunya adalah menangani sengketa kewenangan antar-lembaga negara, ketika ada lembaga yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh lembaga lain.

MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik, apabila asas, tujuan, kegiatan, atau dampaknya dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengajukan permohonan kepada MK untuk membubarkan parpol bersangkutan.

Adapun kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil pemilu, mencakup Pilpres, Pileg, Pilkada, hingga Pemilu Anggota DPD. Namun untuk sengketa Pilkada, Suhartoyo menekankan bahwa kewenangan MK bukan berasal dari konstitusi, melainkan diberikan melalui undang-undang.

“Lima kewenangan MK tadi termasuk satu kewajiban, itulah yang menjadi kewenangan konstitusional MK. Kecuali untuk sengketa Pilkada yang merupakan kewenangan tambahan dari pembentuk UU,” pungkasnya. (**)

 

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *