Bandarlampung: Bukan sekadar organisasi profesi, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah bukti bahwa kata-kata bisa menjadi senjata perjuangan, bahwa berita bisa menjadi pilar bangsa, dan bahwa pers yang merdeka adalah jantung dari demokrasi yang sehat.
Didirikan di Surakarta pada 9 Februari 1946, PWI adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Tanggal itu kini dikenang sebagai Hari Pers Nasional (HPN)—bukan tanpa alasan. Ia mewakili momen ketika profesi jurnalis tak hanya berfungsi sebagai pelapor peristiwa, tapi juga sebagai pelaku sejarah.
Jauh sebelum Lampung menjadi provinsi pada 1964, bara semangat jurnalisme telah menyala. Di Telukbetung, awal 1950-an, para pelajar dan aktivis mendirikan Persatuan Pelajar Wartawan Indonesia (PPWI). Dipelopori Ismet Ismail dan Anang Hoesin, organisasi ini bukan hanya ruang latihan menulis, tapi juga kawah candradimuka pemikiran kritis.
Dinamika pun bergulir. PPWI pecah, lahirlah IPWI dan Yaperda. Upaya menyatukan tetap berjalan, meski belum berhasil menghapus sekat. Namun sejarah memilih jalannya sendiri. Raden Muhammad, Residen Lampung kala itu, tak tinggal diam. Ia menyerahkan tanah di kawasan Durianpayung, Tanjungkarang, untuk membangun Balai Wartawan—batu pijakan awal yang kelak menjadi rumah besar para pewarta Lampung.
Tahun 1965, Indonesia terjerembab dalam gelombang politik. Gerakan 30 September/PKI meletus. Di tengah suasana mencekam, para wartawan Lampung turun ke jalan. Mereka corat-coret tembok, menduduki kantor PKI-SOBSI, berdiri di barisan bersama TNI. Mereka tidak membawa senjata, tapi keberanian mereka adalah peluru bagi kebenaran.
Setelah badai reda, mereka mendaki Gunung Rajabasa, lalu menamai sebuah kawasan sebagai Pantai Wartawan. Tempat ini menjadi simbol kebersamaan, tempat para pewarta merenung: bahwa profesi mereka bukan sekadar pekerjaan, tapi pengabdian.
Akhir 1965, PWI Perwakilan Lampung resmi dibentuk. Lima tahun kemudian, tepatnya 29 Mei 1970, statusnya naik menjadi PWI Cabang Lampung, melalui SK No. 018/P.P/1970. Inilah titik awal estafet kepemimpinan yang terus bergulir.
Nama-nama besar mengisi bab sejarah PWI Lampung. Solfian Akhmad, sang pelopor sekaligus ketua pertama, dikenal sebagai ‘Mullah Pers Lampung’. Ia juga aktor utama kelahiran Harian Lampung Post pada 1974. Di masanya, PWI tak hanya berdiri, tapi juga menyebar akar.
Muhaimin Kohar, tak hanya menulis, tapi juga ikut bertempur bersama pasukan RPKAD. Martubi Makki menjadikan Lampung tuan rumah Kongres Nasional XIX PWI. Agus Soelaeman menertibkan keanggotaan dengan integritas tinggi. Harun Muda Indrajaya, bahkan tetap menulis meski raganya digerogoti sakit.
Akhmad Rio Teguh membawa misi ayahnya untuk membentuk perwakilan PWI di kabupaten. Supriyadi Alfian mengukir prestasi lewat 24 kali Uji Kompetensi Wartawan (UKW), mendirikan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), dan merenovasi Balai Wartawan menjadi gedung megah.
Kini, tongkat estafet ada di tangan Wirahadikusumah. Di tengah gempuran era digital dan disinformasi, ia memilih pendidikan sebagai jalan sunyi membangun masa depan. PWI Lampung menggandeng sekolah, kampus, dan komunitas—karena wartawan masa depan harus tidak hanya tajam menulis, tapi juga tajam berpikir dan jujur menyampaikan fakta.
55 tahun bukan sekadar angka. Ia adalah perjalanan panjang menjaga marwah pers, menyuarakan kebenaran, dan mengawal profesionalisme di tengah perubahan zaman. Ia adalah catatan tentang bagaimana pena tetap menjadi senjata paling ampuh melawan kebohongan, paling tajam menembus kebisuan, dan paling sakral menjaga demokrasi.
Di Lampung, dari Telukbetung ke Tanggamus, dari Balai Wartawan ke Pantai Wartawan, gema itu masih terdengar:
“Kami wartawan. Kami tak gentar. Karena kami percaya, kebenaran selalu punya tempat pulang.” (**)