Lampung Utara : Perhatian terhadap fungsi dan tugas Forum Kewajiban Sosial Pelaku usaha (corporate Social Responbiliry Forum) dalam wacana aktivitas dan program kegiatan mulai mendapat kritik, diantaranya terkait dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Lampung Utara Nomor B/2.33/28-LU/HK/2024 tentang pembentukan Forum Kewajiban Sosial Pelaku Usaha (FKSPU) Kabupaten Lampung Utara, khususnya mengenai susunan keanggotaan FKSPU yang dianggap tidak representstatif dan aktif perannya.
Salah satu pihak yang mengkritisi adalah Dr. Slamet Har, S.H., M.Hum. Ia menilai pembentukan FKSPU sebagai wadah tanggung jawab sosial pelaku usaha di sebenarnya memiliki tujuan baik untuk melindungi masyarakat. Namun melihat struktur Forum sebagaimana dalam SK tersebut dianggap tidak sesuai dengan semangat Perda Nomor 1 Tahun 2016.
Menurut Slamet, forum seharusnya ditempatkan sebagai wadah bagi pelaku usaha untuk menjalankan tanggung jawab sosial perusahaannya, dan pemerintah berperan sebagai fasilitator, serta katalisator pada posisi Pelindung atau penasehat, bukan sebagai Ketua Forum.
“Tepatnya Ketua Forum berasal dari pengusaha.itu sendiri, perlunya juga representasi DPRD yang berasal dari komisi, guna memperkuat fungsi pengawasan” kata Dr. Slamet Har.
Poin krusial lainnya adalah ketidaksesuaian unsur akademisi. Berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) Perda No. 1 Tahun 2016, keanggotaan FKSPU dari unsur akademisi harus berasal dari individu, bukan institusi, serta wajib memahami secara akademik mengenai hukum bisnis, hukum dagang, dan tanggung jawab sosial pelaku usaha.
“Akademisi yang dimaksud seharusnya perorangan, bukan institusi. Dan idealnya orang yang menguasai hukum bisnis dan hukum dagang,” lanjutnya.
Ia menilai SK Bupati justru mencantumkan institusi, bukan individu, sehingga tidak sesuai dengan aturan yang menjadi dasar pembentukan forum.
Akademisi yang mendalami Corporate Social Responsibility (CSR) memang idealnya memahami aspek hukum yang relevan. Meskipun CSR sering dianggap sebagai inisiatif sukarela atau etis, kerangka hukum tetap merupakan fondasi penting yang memengaruhi implementasi dan pengaturan CSR. Latar belakang hukum dagang dan hukum usaha memberikan landasan kuat untuk memastikan program CSR perusahaan tidak hanya berdampak positif secara sosial dan lingkungan, tetapi juga solid dari segi kepatuhan dan strategi hukum.
Menurut Slamet, unsur pemerintah yang terlibat seharusnya berasal dari OPD yang berkaitan langsung dengan urusan ekonomi dan keuangan, bukan seluruh unsur pemerintah dimasukkan sebagai struktur inti. Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat, khususnya tokoh yang aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki pengalaman di dunia usaha, agar forum benar-benar mencerminkan kepentingan publik dan pelaku usaha.
Slamet menilai forum berpotensi berjalan “jalan tapi salah” jika struktur keanggotaannya tidak sesuai aturan. Bahkan, menurutnya, pengurus forum idealnya mendapatkan insentif atau dukungan operasional agar dapat bekerja efektif dan profesional.
Adanya fakta di lapangan mengenai perusahaan yang memberikan CSR dalam bentuk uang tunai, yang bertolak belakang dengan pernyataan pemerintah daerah bahwa CSR hanya diberikan dalam bentuk program atau barang, ikut menguatkan dugaan adanya ketidaksinkronan dalam FKSPU.
Kekhawatiran akan terjadinya tumpang tindih antara penanganan masalah sosial, seperti stunting, dari biaya pemerintah dan Corporate Social Responsibility (CSR) dinilai sangat berdasar, dan merupakan salah satu tantangan dalam implementasi program percepatan penurunan stunting di Lampung Utara.
Di akhir penjelasannya, Slamet menyarankan pemerintah daerah untuk merevisi SK Bupati Nomor B/2.33/28-LU/HK/2024, khususnya pada bagian struktur dan keanggotaan, agar selaras dengan Perda No. 1 Tahun 2016 dan prinsip tanggung jawab sosial pelaku usaha.
“Jika ingin efektif, pemerintah daerah sebaiknya merevisi struktur yang ada dalam SK FKSPU,” tutupnya. (Ipul/Ayi)





















