1 Muharam: Jejak Awal Tahun Baru Islam dan Semangat Hijrah.

Lebih dari sekadar kalender, 1 Muharam adalah momentum perenungan, hijrah spiritual, dan pembaruan diri dalam sejarah Islam

 

Setiap kali 1 Muharam tiba, umat Islam di seluruh dunia memperingatinya sebagai Tahun Baru Islam. Namun, di balik penanggalan hijriyah yang sering hanya dikenal sebagai “kalender bulan”, terdapat kisah sejarah yang penuh makna, pergolakan, dan keteladanan. Hari ini bukan sekadar angka pertama dalam kalender Islam, melainkan simbol hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah—sebuah titik balik dalam sejarah peradaban Islam.

Sistem penanggalan hijriyah tidak ditetapkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Ia baru disusun secara resmi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, sekitar tahun 638 Masehi. Sebelumnya, umat Islam menggunakan berbagai sistem penanggalan, termasuk peristiwa penting sebagai penanda waktu, seperti Tahun Gajah—tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Ketika Islam berkembang dan kebutuhan administrasi negara semakin kompleks, muncul kebutuhan akan sistem kalender yang seragam. Dalam sebuah musyawarah, disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah menjadi titik awal kalender Islam. Bukan kelahiran, bukan wafat, bukan kemenangan dalam perang—melainkan hijrah, sebagai simbol perjuangan, transformasi, dan pembebasan dari tekanan menuju pembaruan.

Makna Hijrah Lebih dari Perpindahan Fisik

Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat bukan semata-mata perjalanan dari satu kota ke kota lain. Hijrah adalah keputusan besar: meninggalkan harta, rumah, dan keluarga demi keyakinan dan kebebasan beragama. Madinah pun menjadi titik awal berdirinya masyarakat Islam yang berdaulat, dengan Piagam Madinah sebagai tonggak konstitusi pertama dunia yang mengakui hak-hak lintas agama dan suku.

Inilah yang membuat 1 Muharam lebih dari sekadar tahun baru. Ia adalah ajakan untuk berhijrah secara spiritual, meninggalkan keburukan menuju kebaikan, dari keraguan menuju keyakinan, dari stagnasi menuju perbaikan.

Tradisi dan Refleksi

Di berbagai penjuru nusantara, 1 Muharam—yang juga dikenal sebagai Tahun Baru Islam atau Lebaran Anak Yatim—diperingati dengan beragam tradisi. Di Aceh ada pawai obor, di Jawa terdapat kenduri dan doa bersama, sementara di Lombok dikenal tradisi lebaran topat. Semua bentuk ekspresi itu bermuara pada hal yang sama: mensyukuri kesempatan hidup baru dan merenungi perjalanan hidup.

Bahkan, dalam ajaran Islam, 1 hingga 10 Muharam merupakan hari-hari istimewa. Puncaknya adalah Hari Asyura (10 Muharam), yang penuh keutamaan dan sarat nilai sejarah, mulai dari peristiwa penyelamatan Nabi Musa AS hingga pengorbanan cucu Nabi, Imam Husain, di Karbala.

Tahun baru hijriyah semestinya menjadi alarm spiritual. Bukan soal perayaan meriah, tapi perenungan. Sebagaimana bangsa Arab kala itu menjadikan hijrah sebagai awal sejarah baru, kita pun diajak untuk menjadikan momen ini sebagai titik tolak perubahan.

Dalam konteks kebangsaan, semangat hijrah bisa diterjemahkan sebagai upaya memperbaiki tatanan sosial, meneguhkan keadilan, dan memperkuat solidaritas umat. Bagi individu, hijrah berarti meninggalkan kesia-siaan dan kembali pada nilai-nilai luhur: jujur, amanah, peduli, dan bertakwa.

1 Muharam bukan sekadar kalender baru dalam sistem penanggalan Islam. Ia adalah kisah keberanian, strategi sosial, dan spiritualitas mendalam yang menjadikan Islam berkembang secara damai dan sistematis. Di tengah dunia yang terus berubah, semangat hijrah tetap relevan—sebagai penanda bahwa setiap awal adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik. (***)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *