Kritik Dulu Jadi Bumerang, Kepengurusan Baru Dinilai Sarat Kepentingan dan Minim Integritas
BANDAR LAMPUNG : Ibarat pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”, kritik pedas yang dulu dialamatkan sejumlah pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Lampung kepada kepengurusan lama kini berbalik arah menjadi bumerang. Setelah mereka resmi menduduki kursi kepengurusan, sejumlah unsur pimpinan justru terjebak dalam praktik rangkap jabatan—hal yang sebelumnya mereka kecam keras.
Kondisi ini memicu reaksi tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari Wakil Ketua KONI Lampung Utara, Eddy Purnomo. Dalam pernyataannya, Eddy menyatakan kekecewaan mendalam terhadap arah kebijakan KONI Lampung yang dinilainya menyimpang dari prinsip integritas dan semangat pembinaan olahraga.
“Yang dulu paling keras teriak soal rangkap jabatan, sekarang malah rangkap jabatan juga. Ini bukan sekadar pelanggaran AD/ART, tapi pengkhianatan terhadap semangat pembinaan olahraga!” tegas Eddy, Sabtu (12/7).
Menurut Eddy, Pasal 23 Ayat 2 Anggaran Dasar KONI dengan tegas melarang unsur pimpinan merangkap jabatan sebagai pengurus cabang olahraga (cabor). Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya—aturan diabaikan, etika dikorbankan.
“Kalau sudah tahu aturannya tapi tetap dilanggar, itu namanya bukan tidak tahu—tapi tidak mau tahu. Lebih baik mundur daripada bikin rusak sistem,” tukasnya tajam.
Lebih jauh, Eddy mengingatkan bahaya laten dari praktik rangkap jabatan ini: munculnya konflik kepentingan, keputusan bias, dan hilangnya netralitas KONI sebagai lembaga pengayom seluruh cabor.
“KONI bukan milik segelintir elite yang doyan jabatan. Ini rumah besar olahraga. Kalau mau mengabdi, pilih: urus KONI atau urus cabor. Jangan dua-duanya demi gengsi pribadi,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia juga menyentil minimnya pemahaman sebagian pengurus baru terhadap regulasi keolahragaan nasional. Ia menyebut sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah yang kerap diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
“Kalau nggak paham UU No. 11/2022, PP No. 46/2021, dan Perpres No. 86/2021, silakan belajar. Tapi kalau memang tidak niat belajar, lebih baik pamit saja. Jangan biarkan ego pribadi merusak prestasi kolektif,” kata Eddy dengan nada serius.
Lebih keras lagi, Eddy menyebut bahwa KONI kini mulai dijadikan kendaraan politik dan ajang kumpul para “penikmat kekuasaan”.
“Jangan sampai Ketua KONI jadi korban dari orang-orang yang hanya pandai menjilat ke atas, tapi menghancurkan dari dalam,” sindirnya tajam.
Di akhir pernyataannya, Eddy mendesak KONI Pusat turun tangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kepengurusan KONI Lampung.
“Olahraga Lampung ini milik rakyat, bukan milik para pemburu jabatan. Sudah saatnya KONI Pusat bersikap sebelum rumah besar olahraga ini berubah jadi kerajaan kecil penuh konflik dan kepentingan,” pungkasnya.
Isu rangkap jabatan di tubuh KONI Lampung kini menjadi bola panas yang terus bergulir. Satu per satu suara kritis mulai bermunculan. Masyarakat olahraga menanti langkah tegas—sebelum prestasi benar-benar hanya tinggal cerita. (*)