Air Mata Seorang Ayah: Perjuangan Wahyudi Menyelamatkan Dua Buah Hatinya

Lampung Utara : Di sebuah rumah sederhana di Dusun 3 Kuyunglaut, Desa Gunung Raja, Kecamatan Sungkai Barat, Lampung Utara,  hidup sepasang orangtua yang tengah berpacu dengan waktu dan harapan. Wahyudi, seorang buruh serabutan, dan istrinya, Eka Sari, tiap hari memeluk doa agar dua putra mereka Dwi Oktaviano (6) dan Brayen (3) dapat tumbuh dan bermain sebagaimana anak-anak lain seusianya.

Namun kenyataan berkata berbeda.
Dwi dan Brayen didiagnosis menderita tetraparesis tipe spastik akibat Cerebral Palsy (GED), disertai gizi buruk dan perawakan pendek. Keduanya juga belum menerima imunisasi lengkap. Kondisi itu membuat gerak tubuh mereka sangat terbatas.

“Pasien baru bisa tengkurap sejak usia 6 bulan dan tidak ada kemajuan perkembangan sampai sekarang,” ujar dokter spesialis anak RSUD Mayjend H.M. Ryacudu Kotabumi, dr. Inda, yang menangani keduanya.

Setiap harapan yang tumbuh, dihantam kekhawatiran baru. Dwi dan Brayen membutuhkan perawatan intensif dan diperkirakan harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap.

Meski hidup serba kekurangan, Wahyudi tak pernah menyerah. Ia rela meninggalkan pekerjaannya yang tidak menentu demi setia mendampingi kedua putranya di rumah sakit. Namun tanpa penghasilan, langkah itu semakin berat.

“Saya cuma bisa sampai rumah sakit dibantu kerabat. Untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja tidak punya uang,” ucap Wahyudi lirih, menahan tangis saat ditemui di salah satu bangsal perawatan.

Ia mengusap lembut kepala putranya, seakan ingin memindahkan seluruh tenaga yang ia miliki ke tubuh kecil itu.

“Anak saya dua-duanya tidak bisa jalan, tidak bisa apa-apa. Dari umur 6 bulan sampai sekarang… yang satu sudah 6 tahun, yang satu baru 3 tahun,” katanya terbata.

Kebutuhan susu bernutrisi yang menjadi anjuran dokter pun tak sanggup terpenuhi.

“Dokter bilang harus ada asupan gizi supaya berat badannya naik. Tapi saya benar-benar tidak punya uang untuk beli susu,” sambungnya.

Meski biaya pengobatan tercakup dalam BPJS Kesehatan, beban hidup selama proses perawatan terus menghimpit keluarga kecil ini.

Kini, Wahyudi hanya bisa menggantungkan harapan kepada uluran tangan sesama.

“Bapak Bupati Harmatoni dan Pak Romli… mohon bantu saya, Pak. Dan para dermawan yang bisa menolong anak-anak saya,” ujarnya pelan, namun penuh keteguhan.

Kisah Wahyudi adalah potret banyak keluarga rentan yang berjuang keras di tengah keterbatasan. Di balik tembok rumah sakit, ia bertahan bukan untuk dirinya, tetapi untuk senyum kecil yang mungkin suatu hari bisa kembali mekar di wajah dua putra tercintanya.

Harapan itu belum padam. Selama ia masih bisa menggenggam tangan mereka, Wahyudi akan terus melangkah, walau air matanya kerap lebih dulu jatuh daripada langkahnya.

(Ipul/Ayi)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *