Lampung Utara : Di tengah gempuran hobi modern yang serba digital, seorang wartawan di Lampung Utara bernama Sodikin (45) memilih jalan berbeda. Wakil Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung Utara itu justru setia merawat tradisi lama, yakni mengoleksi dan mengasah batu cincin. Bukan sekadar koleksi, bagi Sodikin, batu cincin adalah bagian dari budaya, sejarah lokal, sekaligus media edukasi lintas generasi.
Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah wawancara eksklusif di podcast “Obrolan Santai” bersama Om Vicko, yang tayang beberapa waktu lalu. Dalam perbincangan berdurasi hampir satu jam itu, Sodikin berbagi kisah perjalanan hobinya, potensi batu akik di Lampung Utara, hingga teknik dasar merawat dan mengolah batu cincin yang kian jarang dipahami generasi muda.
Sodikin mengaku mulai mengenal batu cincin saat masih duduk di bangku SMP, ketika tren batu akik meledak di berbagai daerah. “Waktu itu saya hanya membeli satu batu kecil. Warnanya tidak terlalu bagus, tapi saya penasaran bagaimana orang bisa membuatnya bersinar,” ujarnya dalam podcast tersebut.
Rasa ingin tahu itu tidak pernah padam. Meski menjalani profesi utama sebagai wartawan, ia tetap menyempatkan diri mempelajari jenis batu, teknik pengasahan, hingga cara menilai kualitas batu. Kini, setelah puluhan tahun, koleksinya mencapai puluhan jenis, mulai dari batu lokal Lampung hingga batu dari Kalimantan dan Sulawesi.
Dalam perbincangan, Sodikin yang juga penggagas event musik ‘Papa Rock n Rool’ ini menyebut Lampung Utara sebenarnya memiliki potensi batu alam yang istimewa. Beberapa jenis batu seperti solar, lavender, kecubung, hingga batu motif lumut bisa ditemukan di wilayah tertentu.
“Sayangnya, potensi ini makin tidak dikenal. Banyak anak muda bahkan tidak tahu bahwa Lampung Utara punya batu berkualitas,” kata Sodikin yang hobi main layang layang ini.
Ia berharap hobi batu cincin tidak sekadar dipandang sebagai tren sesaat seperti fenomena tahun 2014, melainkan sebagai warisan budaya lokal yang punya nilai seni dan ekonomi. Menurutnya, jika dikelola dengan baik, batu cincin dapat menjadi peluang usaha kreatif berbasis kearifan lokal.
Salah satu bagian paling menarik dari hobi ini, kata Sodikin, adalah proses pengasahan batu. Ia menjelaskan tahapan-tahapan dasar yang sering ia lakukan adalah, pemilihan bahan berdasarkan warna, serat, dan tingkat kekerasan. Pemotongan awal untuk membentuk dasar batu.
Kemudian penghalusan bertahap, dari amplas kasar hingga sangat halus dan
pemolesan, menggunakan bubuk khusus hingga batu menghasilkan kilau alami.
“Banyak orang mengira mengasah batu itu hanya soal alat. Padahal, sentuhan tangan, kesabaran, dan feeling sangat menentukan hasil akhir,” ujar ayah dua anak dan satu istri itu.
Ia menambahkan proses ini baginya bersifat meditatif cara melepas penat setelah liputan, sekaligus ruang untuk merawat fokus dan ketenangan.
Podcast bersama Om Vicko menjadi wadah bagi Sodikin untuk memperkenalkan dunia batu cincin kepada masyarakat luas. Dengan gaya obrolan santai, ia menjelaskan berbagai topik, mulai dari cara mengenali batu asli, tips memilih batu berkualitas, hingga etika jual beli batu agar tidak merugikan konsumen.
Om Vicko, yang dikenal sering mengangkat isu-isu human interest, mendorong Sodikin untuk membagikan pengalaman lebih luas. “Banyak yang tidak tahu kalau hobi seperti ini punya nilai edukasi tinggi,” kata Om Vicko dalam podcast tersebut.
Perbincangan itu mendapat respons positif dari pendengar karena tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka kembali wawasan mengenai budaya dan hobi tradisional yang mulai jarang dibahas.
Sebagai wartawan, Sodikin melihat kesamaan antara profesinya dan kegemarannya. Keduanya membutuhkan ketelitian, kejujuran, dan komitmen untuk merawat nilai. Ia berharap semakin banyak generasi muda di Lampung yang tertarik mengeksplorasi hobi lokal, termasuk batu cincin.
“Batu itu kecil, tapi menyimpan cerita panjang. Sama seperti berita, yang kecil kadang bisa berdampak besar,” kata Sodikin pria humoris ini.
Melalui hobi, edukasi, dan peran jurnalistiknya, Sodikin menjadi contoh bahwa tradisi lama dapat hidup berdampingan dengan dunia modern asal dirawat, dibagikan, dan dihargai.
(Ayi/Ipul)




















