Bandar Lampung : Layanan medis di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) menuai sorotan. Seorang bayi perempuan berusia 2 bulan, Alesha Erina Putri, putri dari pasangan Sandi Saputra (27) dan Nida Usofie (23), meninggal dunia usai menjalani operasi usus dengan diagnosa Hirschsprung.
Kepergian bayi malang asal Kelurahan Way Urang, Kecamatan Kalianda, itu memicu rentetan dugaan praktik tak wajar. Mulai dari pelayanan RSUDAM yang dinilai lamban, hingga dugaan jual beli alat medis langsung antara dokter dan keluarga pasien.
Sandi menceritakan, putrinya dirujuk ke RSUDAM pada 9 Juli 2025. Setelah pemeriksaan rontgen pada 19 Juli, bayi didiagnosa menderita Hirschsprung dan menjalani rawat inap pada 18 Agustus. Namun, meski terdaftar sebagai peserta BPJS kelas II, bayi ditempatkan di ruang perawatan kelas III dengan alasan penerapan sistem “ruang tanpa kelas”.
Saat berkonsultasi, dr. Billy Rosan Sp.BA, dokter spesialis anak RSUDAM, menawarkan dua opsi operasi. Pertama, operasi bertahap dengan pembuatan kantung stoma yang ditanggung BPJS. Kedua, operasi sekali tindakan menggunakan alat medis yang disebut tak masuk cakupan BPJS.
Ironisnya, alat medis untuk opsi kedua tidak dibeli melalui manajemen RSUDAM, melainkan langsung ditransfer ke rekening pribadi sang dokter senilai Rp8 juta.
“Setelah uang ditransfer, alat itu langsung ada besoknya. Padahal sebelumnya dibilang butuh proses 10 hari. Kami juga tidak tahu alat itu benar-benar dipakai atau tidak,” ujar Sandi.
Pelayanan Lamban, Bayi Meninggal
Operasi dilakukan pada 19 Agustus 2025. Namun, pascaoperasi kondisi bayi memburuk. Keluarga mengaku pelayanan di RSUDAM sangat lamban. Bahkan, saat selang pernapasan bergeser, perawat hanya meminta “tunggu sebentar” karena keterbatasan tenaga: dua perawat menangani 32 pasien sekaligus.
Lebih memilukan, ketika kondisi bayi kritis, keluarga diminta mencari sendiri ruang PICU di RS Urip Sumoharjo. Upaya itu sia-sia karena waktu habis terbuang, hingga bayi Alesha meninggal dunia sebelum mendapat perawatan intensif.
“Kami kecewa betul. Seharusnya komunikasi soal ketersediaan ruang PICU itu dilakukan pihak rumah sakit, bukan keluarga pasien yang sedang panik,” kata kerabat pasien, Elda.
Bahkan setelah bayi meninggal, keluarga masih dipersulit soal ketersediaan ambulans. Biaya Rp1,5 juta diminta karena BPJS tidak menanggung layanan tersebut. Parahnya, saat dicari, tidak ada satupun petugas jaga ambulans yang standby.
Dokter Minta Maaf, IDI Tunggu Klarifikasi
Kasus ini kian panas setelah dr. Billy Rosan akhirnya muncul di hadapan publik, Jumat (22/8/2025). Dalam pernyataan di Aula RSUDAM, ia menyampaikan permintaan maaf.
“Saya memohon maaf sebesar-besarnya sebagai manusia yang tidak luput dari khilaf dan kesalahan,” katanya singkat tanpa menjelaskan detail perkara.
Billy hanya menegaskan bahwa pilihan operasi menggunakan alat medis dibeli atas keputusan keluarga. “Itu opsi, keluarga yang memilih. Tanyakan kepada mereka kenapa memilih opsi itu,” ujarnya.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bandar Lampung, dr. Khadafi, saat dimintai tanggapan mengatakan akan mengecek lebih dahulu status keanggotaan sang dokter.
Jika benar terbukti, praktik jual beli alat medis langsung oleh dokter kepada pasien berpotensi melanggar sejumlah aturan.
UU ASN No. 5/2014: melarang pegawai negeri menjalankan bisnis pribadi yang berpotensi konflik kepentingan.
Permenkes No. 14/2021: pengadaan alat medis wajib melalui sistem rumah sakit, bukan tenaga medis individu.
Kode Etik Kedokteran (KODEKI): pasal 2 dan 3 melarang dokter memanfaatkan profesinya untuk keuntungan pribadi.
Kini, bayi mungil Alesha telah dimakamkan pada 20 Agustus 2025 di kampung halamannya, Kalianda. Sang ibu, Nida, berharap keadilan ditegakkan dan tragedi ini menjadi pelajaran berharga.
“Kami tidak ingin ada lagi pasien lain yang mengalami hal yang sama. Kami hanya minta kejelasan dan itikad baik dari pihak-pihak terkait,” tegasnya. (**)