Profesionalisme Wartawan, Tanggung Jawab Perusahaan Pers

Profesi wartawan sejatinya adalah panggilan moral, bukan sekadar pekerjaan mencari nafkah. Dalam setiap produk jurnalistik, ada tanggung jawab sosial: menyampaikan kebenaran, memberi pencerahan, dan mengawal demokrasi. Namun, wartawan tidak berdiri sendiri. Ada institusi bernama perusahaan pers yang menaungi, mendukung, sekaligus mengatur arah kerja mereka.

Hubungan wartawan dan perusahaan pers idealnya bersifat simbiosis mutualisme. Wartawan menghidupkan perusahaan melalui karya-karya jurnalistik yang berkualitas, sementara perusahaan pers berkewajiban memberikan ruang independensi, perlindungan hukum, serta kesejahteraan yang layak.

Sayangnya, realitas di lapangan sering berbicara lain. Tekanan ekonomi membuat sebagian perusahaan pers lebih fokus pada kepentingan pasar ketimbang misi ideal pers. Wartawan kerap dibebani target iklan, dikekang kebijakan redaksi yang berpihak pada pemilik modal, atau bahkan dibiarkan tanpa perlindungan ketika menghadapi intimidasi di lapangan.

Disinilah pentingnya mengingat kembali roh Undang-Undang Pers: kebebasan pers tidak hanya hak perusahaan media, tetapi juga hak wartawan sebagai individu profesional. Perusahaan pers harus mampu menjaga integritas wartawannya, sementara wartawan wajib menjaga kredibilitas medianya.

Pers yang sehat lahir dari wartawan yang merdeka dan perusahaan pers yang bertanggung jawab. Bila salah satu pincang, yang rugi adalah publik. Karena itu, memperkuat profesionalisme wartawan dan mempertegas komitmen perusahaan pers menjadi kunci tegaknya demokrasi di negeri ini.

Antara Profesi Wartawan dan Perusahaan Pers: Siapa Melayani Siapa?

Dalam dunia pers, sering muncul pertanyaan klasik: apakah wartawan bekerja untuk perusahaan, ataukah perusahaan berdiri untuk wartawan? Jawaban paling jujur adalah: keduanya bekerja untuk publik.

Wartawan adalah ujung tombak yang berada di lapangan, menyerap fakta, menimbang narasumber, lalu menyajikan berita. Ia berhadapan langsung dengan risiko, tekanan, bahkan ancaman. Sementara itu, perusahaan pers menyediakan sistem, sarana, dan platform agar kerja wartawan dapat diakses khalayak luas. Tanpa perusahaan, karya jurnalistik sulit menjangkau publik. Namun tanpa wartawan, perusahaan pers hanyalah bangunan kosong tanpa ruh.

Masalah muncul ketika perusahaan pers lebih menempatkan wartawan sekadar sebagai “buruh konten”. Target klik, rating, dan iklan kerap menggeser idealisme jurnalistik. Wartawan dituntut produktif, tetapi kesejahteraannya sering diabaikan. Tak jarang pula, suara kritis wartawan dibungkam demi kepentingan pemilik media.

Inilah ironi pers kita: wartawan berjuang menjaga idealisme, sementara perusahaan terjebak logika industri. Padahal, sejarah membuktikan: pers yang besar bukan hanya karena modal, tetapi karena keberanian wartawannya.

Sudah saatnya hubungan wartawan dan perusahaan pers dibangun atas dasar saling menghormati. Wartawan profesional akan menjaga nama baik medianya. Perusahaan yang sehat akan melindungi, menyejahterakan, dan tidak mengorbankan integritas wartawannya.

Pada akhirnya, publiklah yang menjadi penentu. Apakah mereka masih percaya pada pers atau justru beralih ke sumber informasi lain. Kepercayaan itu hanya bisa dipertahankan bila wartawan bekerja merdeka dan perusahaan pers menunaikan tanggung jawabnya.

Pers bukan milik individu atau pemodal, melainkan milik masyarakat. Dan wartawan bersama perusahaan pers hanyalah perantara untuk menjaga amanah itu. (**)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *