Lampung Utara : Proses seleksi Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lampung Utara kini memasuki babak menarik. Dari enam pejabat yang bersaing, Dr. Desyadi, SH., MH. mencatatkan nilai tertinggi 80,28 dan menjadi satu-satunya peserta yang dinyatakan memenuhi syarat (MS) oleh tim asesor panitia seleksi terbuka (Selter) Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP).
Namun, di balik keunggulan itu, masih tersisa satu kenyataan yang kerap menjadi ruang abu-abu dalam birokrasi daerah. Keputusan akhir tetap berada di tangan Bupati.
Desyadi, yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD), unggul jauh di atas lima peserta lain yang hanya masuk kategori “masih memenuhi syarat” (MMS).
Nilai para pesaingnya, seperti Mirza Irawan Dwi Atmaja (76,39) dari Tulang Bawang Barat, dan Intji Indriati (72,78) dari Lampung Selatan terpaut signifikan.
Hasil UKOM ini memperlihatkan kapasitas teknis Desyadi sebagai birokrat dengan rekam jejak panjang di bidang pengelolaan keuangan dan kebijakan fiskal daerah. Ia pernah menempati berbagai posisi strategis, mulai dari Kabid Anggaran BPKAD (2014), Sekretaris BPKAD (2017), hingga Kepala BPKAD (2019) dan kini Kepala BPPRD.
Berdasarkan aturan Permenpan-RB Nomor 15 Tahun 2019, hasil uji kompetensi hanyalah salah satu tahap dalam proses seleksi terbuka. Setelah UKOM, peserta akan menjalani penilaian makalah dan wawancara, sebelum panitia seleksi menetapkan tiga nama terbaik.
Namun, publik kini mulai mengamati dinamika di balik meja penentu. Sebab, tiga besar itu tidak disusun berdasarkan peringkat nilai, melainkan diurutkan secara alfabetis, dan pada akhirnya Bupati berhak memilih salah satu dari tiga nama tersebut untuk dilantik menjadi Sekda definitif.
Ruang itulah yang sering menjadi perdebatan di balik layar. Banyak yang menilai mekanisme ini memberi peluang bagi pertimbangan non-teknokratis ikut bermain baik politik, loyalitas, maupun kedekatan personal.
Sumber di lingkungan Pemkab Lampung Utara menyebut, “Seleksi terbuka memang prosedur, tapi keputusan tetap pada siapa yang dipercaya Bupati. Soal nilai, itu urusan teknis yang menentukan tetap urusan politik dan kepercayaan.”
Namun, keunggulan nilai Desyadi yang jauh di atas rata-rata diyakini menjadi modal legitimasi moral dan administratif yang sulit diabaikan. “Dengan nilai 80 lebih dan rekam jejak baik, sulit mencari alasan rasional untuk tidak melanjutkan dia ke kursi Sekda,” ujar salah satu pejabat senior yang enggan disebut namanya.
Dalam situasi birokrasi daerah yang kerap stagnan, figur seperti Desyadi dinilai membawa napas baru. Kombinasi latar belakang hukum dan keuangan membuatnya dipandang sebagai sosok reformis yang memahami aturan sekaligus implementasi.
Ia dikenal tenang, cermat, dan tidak gemar tampil, namun hasil kerjanya sering menjadi pijakan kebijakan daerah.
Sejumlah kalangan menilai, jika Bupati benar-benar mengutamakan profesionalisme dan meritokrasi, maka pilihan akan jatuh secara alamiah kepada Desyadi.
Namun bila kepentingan politik lebih dominan, bukan tidak mungkin hasil seleksi ini hanya menjadi formalitas administratif dari sebuah keputusan yang sudah digariskan sejak awal.
(**)





















