Di sebuah gang sempit di pinggiran Bandar Lampung, langkah kecil seorang remaja terdengar pelan di antara deretan rumah papan yang nyaris rubuh. Di pundaknya tergantung karung lusuh berisi botol plastik dan kardus bekas. Namanya Gina, 16 tahun.
Setiap pagi, saat anak-anak sebayanya melangkah menuju sekolah dengan seragam putih abu-abu, Gina justru berangkat membantu ibunya memulung. Dari balik rambut yang diikat seadanya, pandangannya kerap terarah pada derap langkah teman-teman sebayanya yang berjalan beriringan sambil membawa buku.
Ada rindu di matanya — rindu pada papan tulis, suara guru, dan cita-cita yang perlahan pudar oleh kerasnya hidup.
“Dulu saya pengin jadi guru,” ucapnya lirih sambil memilah botol plastik di bawah terik matahari. “Tapi sekarang, bisa makan aja udah syukur.”
Kalimat sederhana, tapi menampar nurani siapa pun yang mendengarnya.
Gina tak pernah dikeluarkan dari sekolah. Ia tak menyerah karena malas. Ia berhenti karena kenyataan hidup memaksa.
Uang sekolah, ongkos transportasi, hingga kebutuhan dapur menjadi beban terlalu berat bagi ibunya — seorang janda pemulung yang bertahan hidup dari hasil jual rongsokan tak seberapa.
Sekolah, yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan, justru terasa semakin jauh bagi mereka yang miskin. Ironi yang menyakitkan — ketika pendidikan, yang dijanjikan sebagai hak, berubah menjadi kemewahan.
Padahal, UUD 1945 Pasal 31 dengan tegas menjamin bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan negara “wajib membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi.”
Namun, di lapangan, pasal itu sering hanya berhenti di atas kertas.
Masih banyak anak seperti Gina yang tak tersentuh bantuan pendidikan. Program beasiswa miskin kadang tersangkut di administrasi, tak jarang pula salah sasaran. Di atas kertas, mereka tercatat sebagai penerima bantuan. Di dunia nyata, mereka tetap berjalan memanggul karung — bukan tas sekolah.
Kemiskinan bukan hanya persoalan perut, tapi juga harga diri. Di ruang kelas, anak-anak dari keluarga miskin sering menjadi korban diskriminasi halus.
Pandangan merendahkan, ejekan teman, atau perlakuan berbeda dari sebagian guru membuat mereka merasa tak layak berada di sana. Sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap anak, justru berubah menjadi tempat yang menyisakan luka batin.
Gina mungkin diam, tapi dalam diamnya tersimpan tanya besar: mengapa nasib seseorang harus ditentukan oleh isi dompet keluarganya?
Gina hanyalah satu dari ribuan anak di Indonesia yang terpaksa menukar buku dengan botol plastik. Mereka tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh kesempatan yang sama.
Mereka tidak ingin dikasihani. Mereka hanya ingin hak mereka untuk belajar tidak dirampas oleh kemiskinan.
Karena sejatinya, pendidikan bukanlah hadiah. Pendidikan adalah hak. Hak yang mestinya dijaga oleh negara dan kita semua.
Jika negara sungguh menepati janji konstitusi, seharusnya tak ada lagi Gina yang kehilangan masa depan hanya karena miskin.
Selama masih ada anak bangsa yang harus memilih antara makan atau sekolah, maka tanggung jawab kita sebagai bangsa belum selesai.
Gina mungkin berhenti sekolah, tapi kisahnya seharusnya membuat kita semua tidak berhenti peduli. Karena kemiskinan bukan alasan untuk menyerah — melainkan panggilan bagi kita semua untuk memastikan tak ada satu pun mimpi anak negeri yang padam di tengah jalan.
(**)





















