MK Cabut Kekebalan Jaksa. Penegak Hukum Kini Bisa Langsung Periksa Jaksa Nakal Tanpa Izin Jaksa Agung

JAKARTA : Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan hukum penting. Dalam putusan uji materi terhadap Pasal 8 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, MK memutuskan bahwa aparat penegak hukum tidak lagi wajib meminta izin Jaksa Agung untuk memproses jaksa yang diduga terlibat tindak pidana tertentu.

Putusan yang dibacakan Kamis (17/10/2025) itu menjadi tonggak baru dalam penegakan hukum. Aparat kini dapat langsung memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, hingga menahan jaksa, terutama bila menyangkut tindak pidana khusus, kejahatan berat, atau ancaman pidana mati.

“Bagus buat kami semua. Putusan MK ini mendorong jaksa bekerja profesional dan berintegritas,”
— Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.

Anang menegaskan putusan MK tidak menghapus seluruh mekanisme izin. “Masih tetap berlaku untuk kasus umum. Tapi kami mendukung penuh semangat keterbukaan hukum,” ujarnya.

Putusan ini diyakini sebagai jawaban atas polemik antara KPK dan Kejaksaan yang sempat mengemuka.
KPK sebelumnya kesulitan memeriksa sejumlah jaksa di Sumatera Utara terkait dugaan korupsi proyek jalan PUPR.

Nama-nama yang diperiksa antara lain mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut Idianto, Kajari Mandailing Natal Muhammad Iqbal, dan Kasi Datun Gomgoman Haloman Simbolon.

KPK kala itu harus menunggu izin resmi dari Jaksa Agung sebelum memeriksa mereka, hingga akhirnya pemeriksaan dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung bersama Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas).
Kondisi tersebut sempat menuai kritik publik karena dianggap memperlambat penegakan hukum dan mengaburkan prinsip independensi antarlembaga.

Isi Pasal Setelah Koreksi MK

Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan berbunyi:

“Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau disangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.”

Hakim konstitusi Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah menyatakan dissenting opinion.
Menurut mereka, izin Jaksa Agung bukan bentuk kekebalan, melainkan mekanisme kontrol profesionalitas agar pemeriksaan tidak disalahgunakan.

Namun mayoritas hakim menilai, prinsip “semua sama di hadapan hukum” (equality before the law) harus ditegakkan tanpa pengecualian, termasuk terhadap jaksa.

Putusan MK ini menjadi momentum penting bagi transparansi dan akuntabilitas Kejaksaan.
Tak hanya menegaskan bahwa jaksa bukan pihak yang kebal hukum, tetapi juga mengingatkan bahwa reformasi lembaga penegak hukum harus dimulai dari dalam tubuhnya sendiri.

“Tidak boleh ada lembaga hukum yang menempatkan diri di atas hukum,”
— pernyataan hakim konstitusi dalam sidang putusan MK.

(**)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *