Warga Gotong Royong Marah: Anak Tetangga Sekolah Ditolak Masuk SMA N 2 Bandar Lampung Lewat Jalur Domisili

Bandarlampung: Kekecewaan mendalam menyelimuti warga Kelurahan Gotong Royong, Kecamatan Tanjung Karang Pusat. Meski bertahun-tahun hidup berdampingan dengan SMA Negeri 2 Bandar Lampung, sebagian besar anak-anak mereka justru tidak diterima di sekolah tersebut melalui jalur domisili pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025.

Salah satu tokoh masyarakat Gotong Royong, Drs. H. Azwar Yacub, secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya. Ia menyebut sistem penerimaan murid baru yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dan pihak sekolah diskriminatif serta mengabaikan kontribusi warga sekitar.

“Coba bayangkan, rumah saya berada tepat di samping SMA N 2 sejak saya lahir hingga sekarang. Tapi anak sulung saya malah tidak diterima lewat jalur domisili. Padahal kami warga Gotong Royong selalu menjaga keamanan, membantu mengatur lalu lintas, hingga memastikan kenyamanan lingkungan sekolah,” ujar Azwar, politisi senior Partai Golkar itu dengan nada geram.

Nada serupa juga disuarakan Ketua RT setempat, Usman dan Sani. Mereka menilai alasan yang diberikan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan tidak relevan dengan realitas sosial yang ada.

“Kalau hanya berpegang pada juknis (petunjuk teknis) dan angka semata, lalu di mana penghargaan untuk kami yang sudah puluhan tahun tinggal berdampingan? Jelas kami merasa dianaktirikan,” tegas Usman.

Warga meminta agar pihak SMA N 2 dan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tidak kaku dalam menerapkan aturan. Mereka mendesak agar ada kebijakan khusus atau penambahan kuota penerimaan bagi anak-anak dari lingkungan sekitar sekolah.

“Zonasi itu seharusnya menjadi jaminan prioritas, bukan formalitas. Kalau nilai akademik jadi syarat utama setelah zonasi, maka apa bedanya dengan jalur prestasi?” tambah Sani.

Menanggapi kegaduhan ini, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Americo, menyatakan bahwa penerimaan tahun ini memang mengacu pada aturan terbaru.

“Memang berdasarkan aturan baru, yang pertama harus masuk zonasi sesuai domisili. Tapi setelah itu yang dinilai tetap aspek akademiknya,” ujar Thomas saat dikonfirmasi media.

Pernyataan ini justru makin menambah kebingungan warga. Sistem yang seharusnya memberikan kemudahan kepada warga sekitar, kini justru menjadi penghalang.

SPMB 2025 yang seharusnya membuka akses pendidikan justru menciptakan rasa ketidakadilan. Di tengah semangat pemerataan pendidikan, suara-suara dari Gotong Royong menjadi alarm keras: sistem zonasi jangan sampai menjadi jebakan administratif yang mengabaikan keadilan sosial.(**)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *