Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap skandal korupsi yang mengguncang politik daerah. Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, pada Sabtu (15/3) lalu, menyeret delapan orang yang diduga terlibat suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
Ironisnya, skandal ini turut melibatkan perusahaan dari Lampung Tengah, Lampung, di mana penandatanganan kontrak proyek dilakukan. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (16/3/2025), mengungkapkan modus operandi kasus ini.
Kasus ini bermula dari pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten OKU tahun 2025. Sejumlah anggota DPRD OKU diduga meminta “jatah pokir” sebagai kompensasi persetujuan anggaran proyek.
Dalam prosesnya, Kepala Dinas PUPR OKU, Nov (NOV), menawarkan sembilan proyek dengan komitmen fee 22%—2% untuk PUPR dan 20% untuk DPRD. NOV mengarahkan proyek-proyek ini kepada dua pihak swasta, MFZ dan ASS, serta mengkondisikan pihak penyedia jasa dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) agar menggunakan perusahaan dari Lampung Tengah.
“Penyedia dan PPK akhirnya menandatangani kontrak proyek di Lampung Tengah, Lampung,” beber Setyo Budiyanto.
Setelah pemeriksaan intensif selama 24 jam, KPK menetapkan enam orang sebagai tersangka, sementara dua lainnya masih berstatus saksi.
KPK mengungkapkan bahwa empat pejabat diduga menerima suap, yaitu:
NOV – Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU, MFR – Ketua Komisi III DPRD OKU, FJ – Anggota Komisi III DPRD OKU, dan UH – Ketua Komisi II DPRD OKU.
Dua tersangka lainnya berasal dari pihak swasta yang diduga sebagai pemberi suap: MFZ dan ASS.
Para tersangka kini resmi ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK untuk 20 hari pertama, terhitung sejak Minggu, 16 Maret hingga 4 April 2025.
Modus dalam kasus ini terbilang klasik, yakni “jatah pokir” atau dana pokok pikiran anggota DPRD yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, malah dimanfaatkan sebagai komisi dari proyek-proyek di Dinas PUPR OKU. Kesepakatan ini melibatkan eksekutif dan legislatif, dengan persentase berbeda untuk masing-masing pihak.
KPK menegaskan bahwa praktik ini mencederai integritas pemerintahan daerah dan berjanji akan menindak tegas semua pihak yang terlibat.
“Kami tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru dalam pengembangan kasus ini,” ujar Setyo Budiyanto.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa korupsi di daerah masih menjadi ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. KPK berharap tindakan tegas ini bisa menjadi efek jera bagi pejabat lainnya agar tidak menyalahgunakan kewenangan demi kepentingan pribadi. (**)