Lampung Utara: Fenomena anjloknya harga singkong yang terus membebani petani di Provinsi Lampung mendorong Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lampung bersama Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) menggelar seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Paradoks Kelimpahan dan Solusi Alternatif”, Senin (24/6/2025). Acara yang berlangsung di Aula Rektorat UMKO ini menghadirkan akademisi, peneliti pertanian, petani, dan pelaku usaha untuk membahas solusi atas fluktuasi harga komoditas strategis tersebut.
Kegiatan yang difokuskan pada hilirisasi hasil tanaman singkong ini menggandeng tokoh akademisi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Gatot Supangkat, S., M.P., IPU, Asean Eng, serta peneliti komoditas pertanian, Ir. Surono Danu. Kedua narasumber memaparkan pentingnya diversifikasi produk turunan singkong agar petani tidak tergantung pada harga bahan baku mentah semata.
Rektor UMKO, Dr. Irawan Suprapto, M.Pd, dalam sambutannya menyampaikan bahwa seminar ini lahir dari keprihatinan atas ironi yang dialami petani singkong. “Ini sebuah paradoks: panen melimpah tapi petani justru merugi. Kita ingin mencari jalan keluar bersama, agar kelimpahan hasil pertanian bisa membawa kesejahteraan,” ujar Irawan.
Senada dengan itu, Ketua PWM Lampung, Jamhari HP, menegaskan bahwa Lampung sebagai provinsi penghasil singkong terbesar di Indonesia seharusnya menjadi pionir dalam pengembangan komoditas tersebut. “Lampung adalah provinsi nomor satu dalam produksi singkong. Namun jika petani terus merugi, maka masa depan pertanian kita terancam. Kita ingin UMKO menjadi pusat riset dan inovasi untuk pengembangan produk turunan singkong,” tegasnya.
Sementara itu, Bupati Lampung Utara, Hamartoni Ahadis, yang membuka kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa daerahnya memiliki potensi singkong dengan luas lahan mencapai 20.000 hektare. Namun harga jual yang tidak stabil kerap mengecewakan petani. “Pemerintah sudah mencoba menetapkan harga Rp1.350 per kilogram, tetapi harga ini tak sejalan dengan daya beli perusahaan pengolah. Akibatnya banyak pabrik tutup dan hanya menyisakan lapak-lapak kecil dengan harga yang tidak menguntungkan,” bebernya.
Menurut Hamartoni, solusi jangka panjang yang bisa ditempuh adalah mendorong petani untuk tidak hanya menjual dalam bentuk bahan mentah, tetapi mengolah singkong menjadi produk siap pakai atau setengah jadi. “Kami berharap kampus dan akademisi aktif memberikan gagasan dan teknologi tepat guna. Kita harus bergerak bersama demi pertanian yang sejahtera dan bermartabat,” pungkasnya.
Melalui seminar dan FGD ini, Muhammadiyah dan UMKO berharap dapat memantik sinergi antara petani, pelaku industri, dan perguruan tinggi dalam membangun ekosistem pertanian berbasis inovasi dan hilirisasi. Sebuah langkah awal menuju kemandirian dan keberlanjutan sektor pertanian Lampung. (Ayi/Yan)