Lampung Utara: Masyarakat Lampung Utara mendesak Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Pendidikan agar memberikan kebijakan penambahan rombongan belajar (rombel) pada pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun 2025.
Desakan ini dipicu oleh ketimpangan dalam pelaksanaan jalur domisili pada SPMB 2025 yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat sekitar sekolah. Salah satu tokoh masyarakat Lampung Utara, Frans Andaly menyoroti kekacauan dalam juknis terbaru SPMB yang dinilai tidak siap diterapkan di lapangan.
“Jalur domisili hari ini telah bergeser dari semangat awalnya. Radius rumah ke sekolah tak lagi jadi prioritas. Nilai akademik tetap jadi penentu utama. Ini jelas merugikan warga lokal yang rumahnya berdempetan dengan sekolah, tapi anaknya justru tersisih,” ujar Frans, Rabu (25/6/2025).
Salah satu studi kasus yang disorot Frans adalah di SMA Negeri 3 Kotabumi, di mana sejumlah anak dari lingkungan sekitar gagal masuk meski tinggal hanya beberapa meter dari sekolah. Padahal, dalam semangat kebijakan zonasi yang sebelumnya dikenal dengan jalur Bina Lingkungan (Biling), semestinya anak-anak dari sekitar sekolah mendapat prioritas.
“Dulu ada jalur Biling yang berpihak pada anak-anak sekitar sekolah. Tapi sekarang berubah nama jadi zonasi, lalu kini domisili, namun semangatnya hilang. Jarak jadi simbolik belaka, nilai tetap yang bicara. Ini ironi sistem pendidikan kita,” sambungnya.
Frans mengatakan, usulan penambahan kelas sudah ia sampaikan kepada Ketua DPRD Lampung Utara, Yusrizal, bahkan telah diteruskan secara lisan ke lingkungan Kadis Pendidikan Provinsi Lampung.
“Kami ingin solusi, bukan janji. Pendidikan adalah hak dasar. Tambahan kelas adalah jalan tengah paling masuk akal tanpa harus mengorbankan anak-anak kami,” tegasnya.
Keluhan serupa datang dari Ansori, wali murid yang putranya tidak lolos SPMB di SMA Negeri 3 Kotabumi. Padahal, rumahnya hanya berjarak puluhan meter dari sekolah.
“Anak saya bisa jalan kaki ke sekolah 7 menit. Tapi karena nilai tak cukup, dia gagal. Sekarang kami harus cari sekolah jauh dan tambah beban ongkos. Kami bukan menolak aturan, tapi tolong lihat realitas hidup kami,” ucapnya dengan suara tertahan.
Ansori bahkan terpaksa mengurangi belanja dapur demi ongkos sekolah anaknya setiap hari.
“Saya rela makan seadanya, asal anak tetap bisa sekolah. Tapi bukankah lebih masuk akal kalau anak sekolah dekat rumah, tak perlu ongkos besar?” tambahnya lirih.
Dukungan terhadap aspirasi masyarakat datang dari Lurah Kota Alam, Heri Suherman. Ia mengonfirmasi telah menerima banyak laporan serupa dari warga.
“Anak-anak lingkungan kami tersingkir, padahal mereka tetangga sekolah. Ini bukan soal emosi, ini soal keadilan akses pendidikan. Saya pribadi sangat mendukung adanya tambahan rombel, demi masa depan generasi kita,” kata Heri.
Desakan penambahan rombel ini menjadi cermin bahwa kebijakan pendidikan yang baik bukan hanya soal administratif, tetapi juga soal keberpihakan pada realitas sosial. Ketika aturan menjadi bumerang bagi akses pendidikan anak-anak dari kalangan terbatas, maka evaluasi menjadi keniscayaan. (Ayi)