Oleh : Yosep Alipio
SETELAH putusan musyawarah antara petani singkong dan para pengusaha yang difasilitasi oleh Menteri Pertanian RI pada 31 Januari 2025 tampaknya belum sepenuhnya terealisasi dilapangan. Hal tersebut dibuktikan setelah pemberlakuan putusan harga singkong minimal Rp.1.350.00 Per Kg dengan potongan rapaksi 15 persen. Namun hingga kini masih ada pabrik-pabrik singkong yang belum beroperasi. Sepertinya keputusan itu tidak terpenuhi kesepakatan dari para pengusaha singkong di Lampung.
Kondisi ini tentu berpotensi menjadi gesekan dan konflik horizontal antara petani dan buruh pabrik. Petani tak bisa jual singkong dan buruh singkong tak dapat bekerja disebabkan belum dibukanya pabrik-pabrik. Akhirnya terjadilah saling salah-menyalahkan antara buruh dan petani. Masalah ini juga bisa meningkatkan kriminalitas akibat hilangnya lapangan pekerjaan yang selama ini mereka geluti.
Kesejahteraan buruh bergantung dari hasil kerjanya apalagi buruh harian lepas. Maka jika sehari saja mereka tidak bekerja, hilang pula pendapatan mereka. Hampir kurang lebih 2 bulan gejolak harga singkong menjadi polemik sehingga pabrik-pabrik singkong melakukan penutupan secara massal. Selama penutupan operasi pabrik, para buruh harian lepas tidak dapat memperoleh penghasilan. Sebab buruh pekerja pabrik, pencabut singkong, sopir pengangkut singkong dan lainnya bergantung pada aktivitas operasi pabrik.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 27 ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Undang-undang tersebut menjadi dasar bahwa negara yang dalam hal ini Pemerintah Daerah harus hadir melindungi para buruh pekerja yang terdampak dari tidak beroperasinya pabrik-pabrik singkong yang ada di Lampung Utara.
Setiap tenaga kerja harian tidak ada yang menghendaki adanya kejadian seperti saat ini. Ini kejadian yang wajar dan bersifat universal bagi para buruh pekerja yang mengalami situasi deadlock atau benturan antara petani dan perusahaan seperti saat ini.
Maka dari itu, diperlukan intervensi Pemerintah Daerah Lampung Utara untuk hadir dan menemukan solusi kebijakan terukur kepada semua pihak, dan perlindungan akan nasib buruh harus menjadi prioritas utama dalam kondisi deadlock.
Hal tersebut tertuang dalam pembukaan menimbang (poin a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang berbunyi: “Bahwa setiap tenaga berhak mendapatkan perlindungan keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional”.
Dalam hal putusan Menteri soal harga singkong yang hingga hari ini belum terimplementasi dilapangan, Mentan perlu percepat dapatkan solusi. Jika memang perusahaan tak mampu penuhi permintaan harga petani singkong karena tekanan harga pasar, maka pemerintah harus lakukan kebijakan subsidi. Itu dapat dipertimbangkan melalui UU Nomor 19 tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
(Penulis merupakan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kotabumi, Lampung Utara. Artikel ini opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi).