Oleh Deni Kurniawan
Penulis merupakan Sekretaris Umum HMI Cabang Kotabumi, Lampung Utara. Artikel ini opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Eksprestoday.com
71 hari menuju Pilkada 2024 tepatnya pada Rabu 27 November mendatang. Seluruh instrumen pemilu telah dipersiapkan dengan matang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rakyat sebagai pemberi hak pilih memiliki tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam demokrasi politik. Pilkada 2024 harus benar-benar melahirkan pemimpin altruistik bukan pemimpin yang tidak dikehendaki rakyat.
Memahami figur politik yang akan dipilih menjadi atensi yang harus dilihat secara komprehensif dan sistematis dengan mencermati prinsip sederhana seperti:
1. Etikabilitas
Etikabilitas dapat dimaknai sebagai suatu konsep kepatuhan atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam perilaku yang dilakukan.
2. Intelektualitas
Intelektualitas atau kecerdasan merupakan mutu kecendekiaan, kepandaian atau kepintaran seseorang yang ditujukan untuk menyatakan kebenaran yang bermaslahat bagi banyak orang atau masyarakat.
3. Elektabilitas
Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan seseorang berdasarkan hasil survei dimasyarakat atau partai politik.
Uraian diatas dapat menjadi prinsip dalam memperhatikan rekam jejak, kapasitas, dedikasi dan integritas seorang calon pemimpin, sebagai cara untuk memfilter masing-masing calon. Baik calon Gubernur dan wakil Gubernur/ Calon bupati dan wakil bupati maupun calon Walikota dan wakil walikota.
Jika kita kembali melihat dari beberapa pilkada yang telah diselenggarakan di Indonesia, kita telah memiliki pengalaman yang relatif banyak bagaimana suara rakyat dijadikan komoditas kekuasaan belaka. Janji-janji manis politik hanya dijadikan sarana untuk mengelabui rakyat tanpa pernah menjadi prioritas untuk di realisasikan, janji tinggal janji, tidak dipikirkan dan tidak dipertimbangkan apa lagi direalisasikan.
Pilkada merupakan sarana rakyat yang sah dan legal untuk melakukan perubahan, sehingga diharapkan partisipasi masyarakat untuk ikut andil melakukan arah perubahan dengan cara-cara rasional dan konstitusional dapat dilakukan sebagai upaya mengentaskan persoalan-persoalan didaerah masing-masing.
Misalnya Pilkada yang akan dilakukan disalah satu kabupaten di provinsi Lampung yaitu Lampung utara dengan jumlah penduduk mencapai 659,89 ribu jiwa. Lampung Utara telah meraih peringkat satu kabupaten termiskin di Provinsi Lampung presentase 16,92% terbesar dibandingkan dengan daerah lainnya.
Persoalan tersebut harus dijadikan rujukan utama dalam dialog-dialog politik saat pilkada. Calon-calon pemimpin harus mampu menjadikan issue tersebut untuk mencari jalan kebijakan yang akan dibuat jika nanti dirinya dipilih melalui visi misi serta gambaran kebijakan tersebut rakyat akan menilai siapa calon yang layak untuk diperjuangkan.
Dalam menghadapi persoalan kemiskinan di Kabupaten Lampung Utara, diperlukan pemimpin yang berani dan visioner ditengah segala keterbatasan pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak bisa di harapkan.
Menuju Pilkada 2024, sikap apatisme dan pesimisme harus diubah dengan paradigma politik partisipatif. Sebab, peran rakyat dalam pilkada ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan untuk menentukan kualitas calon Bupati dan Wakil Bupati kabupaten lampung utara.
Lima tahun bukan waktu yang singkat, begitu banyak persoalan yang diselesaikan jika pilihan kita jatuh di tangan bupati dan wakil bupati yang tepat. Rakyat sebagai pemegang hak suara dalam pilkada harus bijak dan cerdas menentukan pilihan politiknya dengan mencermati prinsip memilih Etikabilitas, Intelektualitas dan Elektabilitas. Karena memilih dan menilai tingkat rasionalitas setiap figur dan janji politiknya akan menentukan masa depan Lampung Utara yang lebih baik. (*)