Sumpah Pocong,  Ritual Mistis atau Tindakan Logis?

Jakarta: Sumpah pocong merupakan salah satu ritual mistis yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai cara untuk membuktikan kebenaran atau mencari keadilan. Salah satu kasus terbaru yang melibatkan sumpah pocong, yakni kasus Saka Tatal, seorang mantan terpidana dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016.

Saka Tatal menjalani sumpah pocong di Padepokan Agung Amparan Jati, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, 9 Agustus 2024. Ritual ini dipimpin oleh Raden Gilap Sugiono, pemimpin padepokan tersebut.

Sumpah pocong ini dilakukan sebagai upaya Saka Tatal untuk membuktikan tidak bersalah dalam kasus pembunuhan tersebut.  Selain itu, sumpah ini dilakukan karena pihak keluarga korban, terutama Iptu Rudiana, ayah dari salah satu korban, Muhammad Rizky alias Eky, meragukan kejujuran Saka Tatal dan menuduhnya terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Ritual sumpah pocong ini menarik perhatian banyak pihak karena selain aspek mistisnya, juga menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara tradisional dalam mencari keadilan.

Meskipun sumpah pocong tidak memiliki dasar hukum yang kuat, namun bagi sebagian orang, ritual ini dianggap sebagai cara terakhir untuk membuktikan kebenaran ketika jalur hukum formal tidak memberikan kepuasan.

Kasus sumpah pocong Saka Tatal menjadi pengingat, di tengah kemajuan zaman, masih ada kepercayaan dan praktik tradisional yang tetap hidup dan menjadi bagian dari cara masyarakat mencari keadilan dan kebenaran.

Mistis di Era Modern

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan, sumpah pocong dilakukan untuk meyakinkan orang bahwa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.

Selain itu, kata dia sumpah pocong dilakukan karena pada tataran komunal struktural, komunitas semakin terjadi ketidakpercayaan pada penegak hukum.

“Pada ranah personal, ranah struktural memang terjadi apa yang disebut public distrust pada penegak hukum kepolisian, pengadilan hakim jaksa,” katanya dalam perbincangan dengan iNews, Sabtu (10/8/2024).

Dia menilai, sumpah pocong dilakukan meski di era modern karena orang tersebut mengalami kebuntuan terhadap persoalan yang dihadapi sehingga tidak lagi berpikir rasional.

“Pada masyarakat modern sekali pun ketika nalar rasio tidak mampu menerangkan detail dengan gamblang itu orang pergi ke mistik semacam itu,” ucapnya.

Apalagi, lanjut dia masyarakat Indonesia masih lekat dengan sesuatu yang mistis. Kondisi ini dinilai karena rendahnya literasi mayarakat sehingga nalarnya kurang kuat untuk menerangkan secara rasional.

Seharusnya pembuktian itu bukan hanya tuduhan, tapi secara ilmiah, bisa dibedakan meninggal bunuh diri, dibunuh, kecelakaan. Seharusnya penegak hukum sudah menyertai proses pembuktian dengan ilmiah.

“Anda lihat kasus (Ferdi) Sambo ketika pelurunya ditembakkan secara acak. Artinya bisa diuji secara saintifik. Ini hampir sama apa mati dibunuh atau kecelekaan itu tidak boleh ditutupi secara saintifik harus dibuktikan itu harus jadi bukti sah dalam pengadilan,” ucapnya.

Hukum Pidana Tak Kenal Sumpah Pocong

Sementara itu, pakar hukum pidana, Prof Hibnu Nugroho menilai, sumpah pocong tidak dikenal dalam hukum pidana karena tidak masuk dalam alat bukti. Pembuktian, kata dia harus seimbang dengan bukti satu dengan yang lain.

“Sumpah pocong itu muncul sebebetulnya kalau dalam perdata dimungkinkan karena sumpah penentu ketiadaan bukti. Kalau pidana ini kan pembuktiannya banyak, jadi tidak relevan. Kalau sumpah pocong dilakukan di hadapan hakim, itu kalau perdata bukan di hadapan seperti kemarin dan itu inisiatif pengadilan,” ucapnya.

Dia menilai sumpah pocong itu tidak bisa dikaitkan dengan lemahnya kepercayaan terhadap proses hukum yang berjalan. Dia berharap semua pihak menghormati proses hukum yang berlangsung.

“Ini kan proses pembuktian kita tunggu, kan belum selesai. Pemeriksaan ulang sedang berlangsung,” katanya.

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, dalam KUHAP tidak dikenal sistem pembuktian atau alat bukti sumpah pocong. Pasal 184 KUHAP hanya mengenal sejumlah jenis alat bukti,  yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk (hubungan dua atau lebih alat bukti yang melahirkan petunjuk)  dan keterangan terdakwa.

“Jadi sumpah pocong dalam perspektif KUHAP hanya berdiri sebagai keterangan terdakwa saja. Dari kelima alat bukti itu kecuali keterangan terdakwa, semuanya disumpah, artinya ada konsekwensi yuridisnya,” katanya.

Menurutnya, sumpah pocong, seperti yang dilakukan oleh Saka Tatal hanya mengikat dirinya. “Berdasarkan Pasal 183 KUHAP sebuah putusan dijatuhkan berdasarkan alat bukti yang menimbulkan keyakinan hakim,” ucapnya.

Sumpah Pocong Dalam Pandangan Islam

Ustaz Zacky Mirza dalam wawancara iNews menjelaskan, Islam tidak mengenal adanya sumpah pocong. Dalam Islam, kata dia konteks sumpah paling tinggi itu mubahalah.

“Biasanya untuk urusan-urusan yang tidak bisa dibuktikan secara logis, konkret atau tidak ada bukti-bukti yang otentik maka berlakulah sumpah mubahalah. Di situ Allah SWT yang langsung menjadi saksi,” ucapnya.

Menurutnya, sumpah pocong dalam agama Islam konsepnya sama dengan mubahalah, tapi ada kulturasi budaya yang sampai sekarang dinilai tidak ada literasi akurat berasal dari zaman kerajaan apa.

“Tapi memang yang melakukan sumpah pocong ini rata-rata orang muslim karena memang pocong itu adalah bagian dari ritual ketika ada jenazah yang ingin disemayamkan,” katanya.

Dia menyoroti perhatian pertama yang harus dilihat dari sisi agama, yaitu niatnya betul-betul bersumpah karena Allah Lillahi Taala justru itu menjadi hal yang mediasi atau wasilah ketika ingin membuktikan sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara otentik.

“Seandainya dengan dipocongkan seseorang atau digunakan kain kafan membuat dia ingat mati, tidak boleh berkata bohong, ingat berkata jujur . Nah yang tidak boleh itu adalah ketika sumpah pocong ini yang dijadikan keyakinan itu karena pocongnya atau karena baju pocongnya tadi,” katanya.

Dia menyarankan, sebaiknya tidak perlu melakukan sumpah pocong karena tidak ada dalam ajaran Islam. “Lebih baik dihindari. Kenapa? Karena dalam agama kita itu ada satu konsep namanya sumpah mubahalah,” ucapnya. (Dilansir Inews.id)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *